Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh
kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un
(Kepala Adat – red) mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut
menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong
oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy
Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang
Pu’un.
Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang
ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan
masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang
kaya, namun tidak ada orang miskin.Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti
layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah
begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.
Bulan Puasa/Kawalu
Masyarakat Baduy Dalam sedang melaksanakan puasa yang
dinamakan Kawalu. Di saat Kawalu ini, orang dari luar komunitas Baduy Dalam
dilarang keras memasuki wilayah mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy
Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka disebut “Kawalu” dan jatuh
bulannya adalah di Bulan Adapt. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan
tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada
prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah
atau selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari
besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu. Satu-satunya
kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil
panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu
tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai
dengan amanah adat-nya.
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat
Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan
menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua
laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan
kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan
proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke
Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir
secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran
kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas
kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju
serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat
yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya,
dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian.
Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka
telah meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal tersebut.
Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy
Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam,
beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi
pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya,
jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan
hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan
pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara
yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri
yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman.
Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran
berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar
aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis
pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih
warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan
pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil
oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat,
siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah
tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali
apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi
warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih
longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Rutannya Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat,
sangat jelas berbeda dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah
Tahanan Adat Baduy bukanlah jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung
narapidana di kota-kota, melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang
mengurus/menjaganya. Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak
melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas
seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi nasehat,
pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang namanya hukuman berat disini
adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun
sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita
berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus
diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali,
paling hanya cekcok mulut saja.
Pakaian Suku Baduy
Dalam kehidupan keseharian manusia, berpakaian merupakan
salah satu alat untuk melindungi diri dan menunjukan citra diri terhadap orang lain. Dalam hal ini
masyarakat Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan dalam
hal berpakaian dalam masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang
menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok
masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy Dalam,dan baduy
dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam pandangannya mereka
yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah laku,
cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada
perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model
dan warnanya saja.Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap
mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak
terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah
mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar
seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial,
tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis
kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.