Jumat, 12 April 2013

Suku Badui


Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat – red) mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.

Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin.Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.

Bulan Puasa/Kawalu

Masyarakat Baduy Dalam sedang melaksanakan puasa yang dinamakan Kawalu. Di saat Kawalu ini, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka disebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan Adapt. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu. Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya.

Pernikahan

Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.

Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.

Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal tersebut.

Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy

Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.

Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.

Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.

Rutannya Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat, sangat jelas berbeda dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan Adat Baduy bukanlah jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung narapidana di kota-kota, melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus/menjaganya. Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.
Pakaian Suku Baduy

Dalam kehidupan keseharian manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk melindungi diri dan menunjukan  citra diri terhadap orang lain. Dalam hal ini masyarakat Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan dalam hal berpakaian dalam masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy Dalam,dan baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam pandangannya mereka yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Kekerasan terhadap anak


Pengertian kekerasan terhadap anak adalah segala sesuatu yang membuat anak tersiksa, baik secara fisik, psikologis maupu mental. Oleh para ahli, pengertian kekerasan terhadap anak ini banyak definisi yang berbeda-beda. Di bawah ini akan diberikan beberapa definisi pengertian kekerasan terhadap anak oleh beberapa ahli.
Kempe, dkk (1962) dalam Soetjiningsih (2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak adalah timbulnya perlakuan yang salah secara fisik yang ekstrem kepada anak-anak.Sementara Delsboro (dalam Soetjiningsih, 1995) menyebutkan bahwa seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut.
Fontana (1971) dalam Soetjiningsih (2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak dengan definisi yang lebih luas yaitu memasukkan malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai stadium awal dari sindrom perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari spektrum perlakuan salah oleh orang tuanya atau pengasuhnya.
David Gill (dalam Sudaryono, 2007) mengartikan perlakuan salah terhadap anak adalah termasuk penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi terhadap anak, dimana hal ini adalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak tentunya tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan, pembunuhan, maupun perkosaan, melainkan juga kekerasan non fisik, seperti kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi.
Kekerasan terhadap anak menurut Andez (2006) adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
Sedangkan Nadia (2004) memberikan pengeritian kekerasan terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan bahwa penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut WHO (2004 dalam Lidya, 2009) kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian kekerasan terhadap anak adalah perilaku salah baik dari orangtua, pengasuh dan lingkungan dalam bentuk perlakuan kekerasan fisik, psikis maupun mental yang termasuk didalamnya adalah penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi, mengancam dan lain-lain terhadap terhadap anak.